Kudus (ANTARA) - Warga Desa Tumpangkrasak, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menggelar tradisi budaya bertajuk Mapak Suro dengan menyatukan air dari empat punden untuk menyambut Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1447 Hijriah.
Ritual kirab dan penyatuan air dari empat punden (tempat yang dihormati), yakni mulai dari Punden Mbah Surgipati, Jayengrono, Mertoyudho (Gledheg), dan Djowero Muso berlangsung pada Kamis (26/6) malam di aula Balai Desa Tumpangkrasak.
"Masing-masing perwakilan dari empat punden membawa air yang dimasukkan ke dalam tujuh kendi kecil sehingga total ada 28 kendi untuk dimasukkan ke dalam kendi besar untuk disatukan," kata Kepala Desa Tumpangkrasak Sarjoko Saputro di Kudus, Jumat.
Sarjoko Saputro menjelaskan bahwa tradisi ini bertujuan melestarikan warisan leluhur sekaligus merekatkan kerukunan antarwarga di empat pedukuhan di desa ini.
Kades Tumpangkrasak mengungkapkan bahwa tradisi Mapak Suro tidak hanya sebagai kegiatan seremonial, tetapi juga sebagai momentum refleksi dan evaluasi diri atas perjalanan hidup selama setahun terakhir.
"Suro ini menjadi momen untuk introspeksi. Kami bersama warga mengevaluasi diri, memperbaiki sikap dan kehidupan agar menjadi lebih baik ke depan," ujarnya.
Baca juga: Wali Kota Magelang berharap Gerebek Suro jadi wisata unggulan
Baca juga: Mahasiswa FK UMP gelar bakti sosial Ramadhan di Desa Suro
Puncak kegiatan tradisi ini diawali dengan pengambilan air dari empat punden yang ada di masing-masing pedukuhan. Setiap punden diambil air sebanyak tujuh kendi. Sebanyak 28 kendi ini kemudian dibawa secara kirab menuju balai desa pada Kamis (26/6) malam.
Air dari empat sumber tersebut kemudian disatukan ke dalam satu kendi besar sebagai simbol persatuan. Selanjutnya, warga bersama tokoh desa melangsungkan doa bersama.
Pada hari Minggu (29/6) akan digelar kirab keliling desa karena bertepatan dengan hari libur agar lebih semarak.
"Kirab ini harapannya bisa dinikmati seluruh warga, jadi lebih banyak yang ikut meramaikan karena hari libur," tambahnya.
Tradisi ini dikenal pula dengan nama Teteseng Suci Wiyosaning Leluhur Sekawan Punden sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang dipercaya telah meletakkan dasar peradaban di desa ini.
"Kita ingin nguri-nguri budaya, menumbuhkan rasa gotong royong, dan mempererat kerukunan masyarakat. Lewat budaya ini, empat pedukuhan bisa bersatu dalam satu kegiatan bersama," ujar Sarjoko.
Dengan antusiasme tinggi dari warga, tradisi Mapak Suro di Desa Tumpangkrasak terus dilestarikan sebagai identitas budaya dan pemersatu masyarakat lintas generasi.